Skip to Content

Otak Kita Doyan Dibohongi Cerita

Cara Lolos dari Jebakan 'Narrative Fallacy' yang Bikin Salah Ambil Keputusan

Pernah nggak sih, kamu baca biografi orang sukses atau nonton film tentang mereka, terus kamu manggut-manggut sendiri? "Oh, pantesan dia sukses, masa kecilnya ditempa keras." atau "Aha, jadi karena dia pernah ditinggalkan, makanya dia jadi super ambisius!"

Kita semua pernah begitu. Kita menghubungkan titik-titik, merangkai sebab-akibat, dan merasa paham betul kenapa sesuatu terjadi. Rasanya logis, memuaskan, dan membuat dunia yang kacau ini terasa lebih teratur.

Contoh paling gampang, lihat kisah Steve Jobs. Biografinya yang ditulis Walter Isaacson dengan indah melukiskan bagaimana karakter Jobs dibentuk oleh ayahnya, seorang pengrajin detail yang bahkan bagian belakang lemari pun harus dibuat sempurna. Ditambah lagi, fakta bahwa Jobs adalah anak adopsi seolah menjadi bumbu pamungkas: ia merasa ditinggalkan, makanya ia punya hasrat membara untuk membuktikan diri. Cerita ini begitu kuat, sampai-sampai filmnya dapat nominasi Oscar.

Kedengarannya masuk akal, kan?

Tunggu dulu. Karena di sinilah jebakan paling berbahaya sedang menanti kita.

Kisah Ironis Sang Pakar dan Jebakan di Depan Mata

Nassim Taleb, penulis buku fenomenal The Black Swan, punya pengalaman lucu yang menampar kita semua. Suatu hari di Roma, seorang profesor menghampirinya. Profesor ini baru saja membaca buku Taleb yang isinya justru mengkritik kecenderungan otak kita membuat hubungan sebab-akibat yang sebenarnya nggak ada.

Dengan semangat, sang profesor berkata pada Taleb:

"Anda beruntung sekali lahir di Lebanon! Warisan Mediterania Ortodoks Timur Anda membuat Anda bisa melihat peran keberuntungan dan tidak terjebak hubungan sebab-akibat yang kaku. Kalau Anda besar di masyarakat Protestan yang menekankan kerja keras adalah segalanya, Anda tidak akan pernah bisa melihat dunia seperti ini!"

Taleb, yang dipuji-puji, justru tersenyum dalam hati. Sang profesor baru saja memuji idenya, lalu detik berikutnya, ia melakukan kesalahan yang persis sama di depan mata Taleb.

Bagaimana Taleb tahu itu omong kosong? Ia melakukan tes sederhana. Dari 26 trader yang ia kenal dengan latar belakang dan pengalaman perang yang sama, tidak ada satu pun yang menjadi skeptis seperti dirinya. Nol. Kosong.

Bahkan Steve Jobs sendiri menepis ide bahwa status adopsinya adalah kunci suksesnya:

"Ada anggapan konyol bahwa karena saya ditinggalkan, saya bekerja keras agar orang tua saya menyesal... itu konyol. Mengetahui saya diadopsi mungkin membuat saya merasa lebih mandiri, tapi saya tidak pernah merasa ditinggalkan. Saya selalu merasa istimewa."

Lihat polanya? Kita semua, bahkan profesor pintar sekalipun, adalah korban dari Narrative Fallacy.

Ini adalah "korsleting" mental yang membuat kita melihat masa lalu sebagai sebuah cerita yang lurus dan rapi. Otak kita benci kekacauan. Ia butuh alasan. Cangkir kopi jatuh? Pasti karena saya senggol. Orang lain dapat promosi? Pasti karena dia lebih berpengalaman. Tanpa cerita sebab-akibat, dunia terasa acak dan menakutkan.

Masalahnya, cerita yang kita buat seringkali salah, dan itu membawa kita pada keputusan yang salah pula.

Kenapa Cerita Pahlawan Olahraga Itu Menipu?

Coba ingat-ingat profil atlet terkenal di TV. Ceritanya pasti mirip:

  • Bakat alami sejak kecil.
  • Orang tua atau pelatih yang super disiplin.
  • Peristiwa tragis (misal, kehilangan ayah) yang jadi titik balik.
  • Etos kerja gila-gilaan.

Ceritanya mungkin begini: "Steven sudah ditakdirkan untuk jadi bintang sejak kecil. Badannya paling tinggi di kelas, skillnya di atas rata-rata, dan ibunya tak pernah membiarkannya malas. Kehilangan ayahnya di usia muda mendorongnya bekerja lebih keras dari siapa pun."

Kisah yang indah. Tapi coba kita pakai kacamata detektif.

Berapa ribu anak muda di luar sana yang punya latar belakang persis sama—tinggi, berbakat, punya orang tua suportif, pelatih hebat, dan etos kerja keras—tapi gagal total menjadi pemain NBA? Jawabannya: banyak sekali.

Inilah inti masalahnya. Cerita itu hanya menyorot faktor-faktor yang "terlihat" dan "enak didengar", sambil mengabaikan faktor raksasa yang tak terlihat: keberuntungan, waktu yang tepat, dan kesempatan.

Cerita itu membuat kita percaya bahwa A + B + C pasti menghasilkan D. Padahal kenyataannya, ada puluhan faktor lain (X, Y, Z) yang mungkin jauh lebih menentukan.

Jebakan "Linda" dan Bisnis yang "Dibangun untuk Bertahan"

Daniel Kahneman, pemenang Nobel Psikologi, punya eksperimen klasik. Ia mendeskripsikan seorang wanita fiktif bernama Linda:

"Linda, 31 tahun, lajang, blak-blakan, dan sangat cerdas. Ia mengambil jurusan filsafat. Sebagai mahasiswi, ia sangat peduli pada isu diskriminasi dan keadilan sosial, dan juga berpartisipasi dalam demonstrasi anti-nuklir."

Lalu, orang-orang diberi dua pilihan:

  1. Linda adalah seorang teller bank.
  2. Linda adalah seorang teller bank DAN aktif dalam gerakan feminis.

Secara logika, pilihan nomor 1 pasti lebih mungkin terjadi daripada nomor 2. Tapi, 85-90% mahasiswa memilih nomor 2. Kenapa? Karena pilihan nomor 2 menyajikan cerita yang lebih baik dan lebih cocok dengan deskripsi Linda. Otak kita lebih memilih cerita yang koheren daripada kebenaran statistik.

Hal yang sama terjadi pada buku-buku bisnis populer seperti Good to Great atau Built to Last. Buku-buku ini menyajikan narasi indah tentang kenapa perusahaan A atau B sukses (budaya kerja hebat, pemimpin visioner, dll). Tapi beberapa tahun setelah buku itu terbit, banyak dari perusahaan "hebat" itu performanya anjlok kembali ke rata-rata.

Apakah budaya kerja yang baik itu penting? Tentu! Sama seperti tinggi badan penting untuk pemain basket. Tapi itu bukan satu-satunya penyebab, dan seringkali bukan yang utama.

Terus, Gimana Caranya Biar Nggak Jadi Korban? 

Oke, kita sudah tahu masalahnya. Sekarang, bagaimana solusinya? Ini dia langkah-langkah praktis yang bisa kamu lakukan mulai hari ini.

  1. Jadi Detektif, Bukan Cuma Penonton.
    Setiap kali mendengar sebuah cerita sukses, ajukan dua pertanyaan sakti ini:
    • "Dari semua orang yang punya kondisi awal yang SAMA (bakat, kerja keras, dll), berapa banyak yang berhasil mencapai hasil yang sama?" (Ini akan mengingatkanmu pada ribuan "Steven" lain yang gagal).
    • "Dari semua orang yang berhasil, berapa banyak yang TIDAK punya kondisi awal tersebut?" (Ini akan menunjukkan bahwa ada banyak jalan menuju Roma, tidak hanya satu narasi tunggal).
  2. Mulai "Diet" Informasi Naratif.
    Kurangi konsumsi berita TV, koran, atau artikel yang terlalu dramatis. Bersikaplah super skeptis terhadap biografi, memoar, dan bahkan penulis non-fiksi yang jago banget bercerita (seperti Malcolm Gladwell). Cerita mereka memikat, tapi seringkali menyederhanakan realitas yang rumit.
  3. Bikin Jurnal Keputusan (Ini Senjata Paling Ampuh!).
    Sebelum mengambil keputusan penting (misal: investasi, pindah kerja, memulai proyek), tulis di jurnal. Catat bukan hanya KEPUTUSAN-nya, tapi yang terpenting, ALASAN KENAPA kamu yakin itu akan berhasil. Tulis sedetail mungkin. Nanti, entah berhasil atau gagal, kamu punya catatan otentik tentang proses berpikirmu, bukan alasan yang kamu karang setelah semuanya terjadi. Ini akan melatihmu melihat betapa rumitnya sebab-akibat.
  4. Rekrut 'Pengacara Setan' (Devil's Advocate).
    Seperti kata Charlie Munger, carilah orang yang skeptis dan pintar untuk membantah idemu. Cara santainya: ajak temanmu yang paling kritis untuk "nyinyirin" rencanamu. Paksa dirimu untuk melihat celah dalam narasimu sendiri.
  5. Favoritkan Eksperimen, Bukan Dongeng.
    Seperti kata Taleb: lebih percayai data daripada satu-dua cerita (anekdot). Lebih percayai pengalaman langsung daripada sejarah (yang bisa dipilih-pilih). Dan tetaplah rendah hati tentang pemahamanmu akan masa lalu.

Menyadari jebakan ini bukan berarti kita harus jadi sinis dan anti cerita. Cerita itu penting untuk menginspirasi dan mengajar. Tapi dengan menjadi sadar, kita bisa menggunakan cerita tanpa menjadi budaknya. Kita bisa membedakan mana inspirasi, dan mana ilusi pemahaman.

🔑 Poin Kunci

  • Otak Kita Pencari Cerita: Otak secara alami merangkai peristiwa menjadi cerita sebab-akibat yang logis untuk memahami dunia. Ini disebut Narrative Fallacy.
  • Cerita Seringkali Menipu: Cerita yang bagus seringkali menyederhanakan realitas, mengabaikan peran besar keberuntungan, kebetulan, dan faktor-faktor yang tak terlihat.
  • Kisah Sukses Tidak Lengkap: Narasi tentang orang sukses seringkali hanya menyorot faktor-faktor yang "masuk akal" dan mengabaikan ribuan orang lain dengan faktor serupa yang gagal.
  • Logika Kalah Sama Cerita: Kita cenderung memilih penjelasan yang lebih naratif dan koheren, bahkan jika itu melanggar hukum probabilitas dasar (kasus Linda si teller bank).
  • Kesadaran adalah Langkah Pertama: Mengetahui adanya jebakan ini adalah separuh dari pertempuran untuk tidak menjadi korbannya.

📖 Kamus Mini

  • Narrative Fallacy (Kekeliruan Naratif): Kecenderungan manusia untuk melihat dan menafsirkan peristiwa sebagai sebuah cerita dengan alur sebab-akibat yang jelas dan sederhana, seringkali mengabaikan kerumitan, keacakan, dan peran keberuntungan.
  • The Black Swan: Istilah yang dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb untuk menggambarkan peristiwa yang sangat langka, memiliki dampak ekstrem, dan baru bisa dijelaskan (dibuat narasinya) setelah terjadi.
  • Reason-Respecting Tendency: Istilah dari Charlie Munger yang menggambarkan kecenderungan manusia untuk lebih mudah patuh jika diberi sebuah alasan, bahkan jika alasan tersebut tidak masuk akal atau tidak relevan.
  • Regression to the Mean (Regresi ke Rata-rata): Konsep statistik di mana jika sebuah variabel nilainya ekstrem pada pengukuran pertama, pengukuran berikutnya cenderung akan lebih mendekati nilai rata-rata. Dalam konteks bisnis, perusahaan yang performanya luar biasa (ekstrem) pada satu waktu, kemungkinan besar akan kembali ke performa rata-rata di masa depan.
  • Availability Bias (Bias Ketersediaan): Kecenderungan untuk menilai sesuatu berdasarkan contoh atau informasi yang paling mudah muncul di pikiran kita, yang seringkali adalah informasi yang paling dramatis atau emosional, bukan yang paling akurat secara statistik.

Bocoran 'Sistem Operasi' Hidup dari Charlie Munger
Cara Menjalani Hidup yang Benar-benar 'Work'